Jumat, 04 November 2016

MENEGUHKAN SEMANGAT SUMPAH PEMUDA DI ERA PERSAINGAN

Oleh: RINTOKO

Pengamat Sosial dan Masyarakat Indonesia

 

Ikrar ‘Sumpah Pemuda’ sudah didengungkan di nusantara selama 88 tahun lamanya. Dalam rentang waktu yang mendekati 1 abad, sudah barang tentu janji suci tersebut menuai banyak pujian maupun ujian.

Perlu diingat kembali, Sumpah Pemuda tidak serta merta muncul begitu saja tanpa adanya sabab musabab. Kala itu, Indonesia sedang berada di bawah bayang-bayang cengkraman bangsa lain. Sebuah kondisi yang menuntut generasi muda Indonesia untuk bersatu padu menunjukkan eksistensinya hingga mampu bersaing dengan bangsa lain. Pada saat itu, secara tegas generasi muda Indonesia sepakat bahwa bangsa ini tidak boleh menjadi tamu di negerinya sendiri.

Saat itu, Sumpah Pemuda menjelma menjadi pelecut semangat generasi muda untuk bahu membahu bersaing dan menundukkan bangsa lain yang menjajah Tanah Air. Berbagai perjuangan dan pengorbanan pun menggelora dengan dilandasi semangat Sumpah Pemuda. Hingga pada akhirnya, Sumpah Pemuda membuahkan sebuah hasil nyata. Yakni Kemerdekaan Indonesia yang nyata adanya.

Setelah 88 tahun berlalu disertai dengan 71 tahun kemerdekaan, perjuangan bangsa Indonesia untuk bersaing dengan bangsa lain pun ternyata belum selesai. Hanya saja, Indonesia saat ini tidak lagi dihadapkan pada kolonialisme-imperialisme. Jika 71 tahun yang lalu Indonesia dihadapkan pada pertempuran yang memperebutkan tanah dan segala bentuk sumber daya.  Maka, saat ini Indonesia dihadapkan pada globalisasi dan liberalisasi ekonomi global yang sangat kompetitif.

Sebagaimana kita ketahui, dinamika ekonomi global yang kompetitif saat ini telah melahirkan berbagai bentuk pasar bebas. Sebuah instrumen yang mengusung konsep “persaingan” sebagai filosofi pelaksanaannya. Meskipun arah tujuan dibentuknya instrumen ekonomi global tersebut diperuntukan untuk kesejahteraan yang lebih merata, persaingan tetaplah persaingan. Bangsa yang lemah pastilah akan tertinggal.

Pergeseran Medan Perang Menjadi Era Persaingan

Faktanya, globalisasi ekonomi telah melahirkan berbagai konsep liberalisasi pasar. Salah satu bentuk paling nyata dan telah berlaku adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Dalam MEA, ada sejumlah ketentuan yang menjadi pintu keluar masuknya barang dan jasa secara liberal (tertutup) antar negara-negara ASEAN.

MEA merupakan buah hasil kesepakatan pemimpin negara-negara ASEAN untuk menjadikan kawasan ASEAN sebagai pasar tunggal. Harapannya, perekonomian ASEAN menjadi lebih dinamis dan dapat bersaing dengan Amerika Serikat, Tiongkok, India, dan Uni Eropa. Dengan begitu, MEA ditujukan untuk menghilangkan secara signifikan hambatan-hambatan kegiatan ekonomi lintas kawasan ASEAN. Sederhananya, keran penghambat impor-ekspor barang dan keluar masuknya tenaga kerja harus ‘sedikit’ lebih dikendorkan, agar pasar ASEAN lebih menggairahkan untuk berinvestasi.

Oleh karenanya, pergeseran peperangan menjadi persaingan ini tentu harus dihadapi dengan cara yang berbeda pula. Segala keterbukaan yang terjadi harus dihadapi dengan sikap terbuka. Tidak lain dan tidak bukan, generasi saat ini harus bisa mengoptimalkan segala sumber daya bangsa agar mampu bersaing dengan bangsa lainnya.

Teguhkan Semangat Hadapi Tantangan

Pemerintah Indonesia pernah menyebut bahwa Indonesia akan menempati peringkat 7 negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2030. Hal itu dapat tercapai dengan catatan, pada tahun tersebut Indonesia memiliki 115 juta tenaga kerja terampil (silled labour). Sayangnya, hingga saat ini Indonesia belum memiliki 50 % kriteria tersebut. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan RI 2016, Indonesia baru memiliki sekitar 55 juta tenaga kerja terampil. Artinya, untuk mencapai salah satu syarat negara dengan ekonomi terbesar di dunia, Indonesia membutuhkan pasokan 60 juta tenaga kerja terampil.

Tantangan tersebut semakin berat jika dikatikan kondisi angkatan kerja Indonesia saat ini. Merujuk pada data Sakernas Badan Pusat Statistik per Februari 2016, tercatat angkatan kerja Indonesia mencapai 127,67 juta jiwa, dimana sekitar 60,38% adalah lulusan SMP ke bawah. Bahkan, jika dijumlahkan dengan angkatan kerja yang berpendidikan hingga SMA prosentasenya mencapai 77,81%. Sedangkan lulusan pendidikan tinggi (S1 ke atas) belum mencapai 10%.

Belum lagi, World Economic Forum (WEF) baru saja merilis The Global Competitiveness Report 2016 – 17, yang mana melaporkan daya saing Indonesia menurun. Dalam laporan tersebut, Indonesia berada di posisi ke-41, merosot dari edisi sebelumnya yang berada di posisi ke-37 dari 138 negara. Dengan berbagai indikator yang dilaporkan, jelas hal tersebut merupakan cerminan bahwa generasi muda bangsa ini masih harus banyak melakukan pembenahan.

Dengan kondisi nasional yang rentan gejolak di tengah ketatnya era persaingan, wajar saja jika masyarakat berdegup kencang dengan berlangsunya MEA. Namun, MEA hanyalah satu kenyataan yang tak terelakkan. Tantangan-tantangan besar yang ada saat ini tetaplah harus disikapi oleh generasi muda secara terbuka disertai penguatan karakter identitas nasional, agar bangsa ini bisa tinggi menjulang tanpa lepas dari pijakan tanah.

Memandang Era Kompetisi Sebagai Peluang

Perlu kembali dipahami, pasar bebas yang terbentuk saat ini adalah pintu baru bagi Indonesia dalam berinteraksi ekonomi, sosial, dan budaya dengan bangsa lain. Dalam konsep ini, dunia usaha dan industri tidak lagi terbatasi dengan kondisi-kondisi di dalam negeri. Tapi makna pasar semakin meluas hingga negeri-negeri yang lain. Adapun yang menjadikeyword dari interaksi tersebut adalah “kompetensi”.

Merujuk pada Mutual Recognizition Arrangement (MRA), ada 12 sektor ekonomi yang menjadi bagian perjanjian dalam MEA. Ke-12 sektor ini terbagi lagi dalam sub sektor jasa dan sub sektor perdaganga dan industri. Adapun 5 sektor yang menjadi bagian sub sektor jasa adalah transportasi udara, elektronik, pelayanan kesehatan, pariwisata, dan logistik. Sedangkan 7 sektor berasal dari perdagangan dan industri yang terdiri dari produk berbasis pertanian, elektronik, perikanan, karet, tekstil, otomotif dan kayu.

Selain itu, ada 8 bidang profesi yang menjadi bagian dari perjanjian MEA. Yakni insinyur, perawat, arsitek, pekerja pariwisata, medis, perguruan tinggi, dokter gigi dan akuntan.

Jika melihat MRA tersebut, maka pasar bebas MEA bukanlah pintu yang terbuka selebar-lebarnya bagi ekspor-impor barang, jasa, maupun tenaga kerja. Karena hanya sektor, bidang, dan profesi tertentu saja yang diperjanjikan. Sehingga, dalam konteks pasar bebas MEA generasi muda Indonesia dihadapkan pada 2 pilihan.

Pertama, fokus pada sektor, bidang, dan profesi yang dikompetisikan dalam MEA. Dengan penguatan kompetensi, profesionalitas, dan karakter bukan barang mustahil Indonesia bisa bersaing dengan bangsa lainnya. Caranya adalah memaknai era persaingan ini sebagai kompetisi. Bukan sebaliknya menjastifikasinya sebagai pintu kolonialisasi.

MEA menjadi kesempatan besar bagi generasi muda untuk mengaktualisasikan diri. Karena pasar kerja dan industri tak lagi terbatasi oleh pemandangan di dalam negeri. Generasi muda memiliki pilihan yang lebih banyak untuk berinovasi dan mengaktualisasikan diri, dengan memandang ASEAN sebagai daratan yang sama untuk berkreasi.

Dengan adanya kesadaran era persaingan ini sebagai kompetisi, maka generasi muda Indonesia harus mempersiapkan diri sebaik mungkin. MEA bukan lagi deretan kapal perang yang dilengkapi peluru kendali. Tetapi MEA adalah arena pertandingan untuk berkompetisi. Merebut posisi dan raih kemenangan dalam segala bentuk kompetisi.

Kedua, MEA adalah satu dari sekian bentuk era globalisasi ekonomi. MEA bukanlah sebuah patronase bagi generasi muda untuk mengaktualisasikan diri dan berinvoasi. Oleh karenanya, masih ada sektor, bidang, dan profesi lain yang bisa dikembangkan. Karena tidak mungkin era persaingan kedepan akan melahirkan pasar bebas yang lainnya.

Untuk itu, Sumpah Pemuda sangat syarat dengan motivasi bagi generasi muda saat ini untuk menjadi generasi yang kompetitif. Generasi yang berani berjuang dan bersaing dengan bangsa lain. Generasi yang ingin selalu menang. Serta generasi yang tidak lupa akan sejarah dan identitas bangsanya.

Kamis, 01 September 2016

Pentingnya Kompetensi, Produktivitas, Sertifikasi, dan Daya Saing di Era Persaingan

Produktivitas tenaga kerja memegang peranan penting dalam dinamika ekonomi dan industri dewasa ini. Produktivitas tenaga kerja sendiri lahir dari kompetensi yang dimilikinya. Oleh karenanya, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan RI (Kemnaker), terus mendorong peningkatan kompetensi dan percepatan sertifikasi profesi tenaga kerja sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas angkatan kerja Indonesia.

Pada era persaingan saat ini, kompetensi tenaga kerja dan sertifikasi profesi merupakan solusi sebagai upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Selanjutnya, produktivitas tenaga kerja merupakan variabel kunci untuk memenangkan persaingan antar individu, antar industri, antar sektor, antar daerah, dan antar negara.

Sebagaimana diketahui, salah satu cara mengukur produktivitas tenaga kerja pada suatu sektor / kabupaten / provinsi / negara / dunia adalah Produk Domestik Bruto (PDB) di bagi dengan jumlah tenaga kerja (workers). Rumus ini menghasilkan produktivitas tenaga kerja rata-rata. Kemudian, rumus ini dapat diturunkan untuk menghitung produktivitas seorang tenaga kerja, yang tidak lain adalah sama dengan nilai tambah pekerjaan yang dikerjakan oleh tenaga kerja yang bersangkutan. Sementara itu, produktivitas tenaga kerja ditentukan oleh kompetensi yang bersangkutan. Semakin tinggi kompetensi, maka semakin tinggi pula produktivitas.

Ditinjau dari segi personal, semakin tinggi kompetensi tenaga kerja maka akan semakin tinggi pula nilai tambah yang dihasilkannya. Kemudian, semakin tinggi produktivitas tenaga kerja yang bersangkutan maka akan semakin tinggi daya saing tenaga kerja yang bersangkutan. Selanjutnya, apabila dilihat secara agregat, semakin tinggi kompetensi rata-rata tenaga kerja, maka akan semakin tinggi PDB per kapita. Artinya, ketika semakin tinggi produktivitas rata-ratanya maka akan semakin tinggi daya saingnya.

Berdasarkan rumusan di atas, peningkatan kompetensi tenaga kerja merupakan muara dari peningkatan daya saing. Kedua-duanya harus dilakukan secara berkesinambungan. Dalam hal ini, peningkatan kompetensi dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, dan pemagangan. Sedangkan peningkatan daya saing tenaga kerja, selain tergantung pada kompetensi, ditentukan juga oleh sertifikasi profesi yang merupakan pengakuan (recognition) terhadap kompetensi yang dimiliki. Dengan adanya sertifikasi, maka akan diketahui secara jelas tingkat kompetensi tenaga kerja yang bersangkutan. Tentunya, sertifikasi tersebut menjadi sangat penting bagi tenaga kerja ketika memasuki dunia kerja.

Indonesia sendiri telah memiliki Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dengan membaginya menjadi 9 tingkatan Kualifikasi Kompetensi Nasional Indonesia (KKNI), yaitu: tingkat pertama adalah jabatan operator-I yang setara dengan pendidikan formal Sekolah Dasar; tingkat kedua adalah jabatan operator-II setara pendidikan Sekolah Menengah Atas; tingkat ketiga adalah jabatan operator-III setara pendidikan Diploma 1; tingkat ke empat adalah jabatan analisis / teknisi-I setara pendidikan diploma 2; tingkat kelima adalah jabatan analisis / teknisi-II setara pendidikan diploma 3; tingkat ke enam jabatan analisis / teknisi-III setara pendidikan diploma 4 / strata 1; tingkat jabatan ke tujuh adalah jabatan ahli-I setara pendidikan profesi; tingkat jabatan ke delapan adalah jabatan ahli-II setara pendidikan magister; dan tingkat ke sembilan adalah jabatan ahli-III setara pendidikan doktor terapan / doktor.

ASEAN telah menyepakati pengakuan bersama / Mutual Recognition Arrangement (MRA) tentang penyetaraan kualifikasi tenaga kerja melalui sertifikasi dan standarisasi kompetensi utama. MRA meliputi 8 sektor yaitu: 1) Jasa Engineering 2) Jasa keperawatan, 3) Jasa Arsitektur, 4) Surveyor, 5) Praktisi Dokter Medis 6) Praktisi Dokter Gigi 7) Jasa Akuntansi, dan 8) Jasa Pariwisata.

Penguatan kompetensi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pun menjadi semakin penting, karena hal ini berkaitan erat dengan penempatan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia. Oleh karena itu, sepanjang Indonesia belum mencapai tingkatan ‘full employment’, maka TKA yang akan bekerja di Indonesia harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada intinya, hanya untuk jabatan-jabatan tertentu pada tingkatan tinggi yang boleh dimasuki oleh TKA.

Pemerintah RI Melalui Kementerian Ketenagakerjaan RI (Kemnaker) telah mempermudah pelayanan pengurusan Ijin Penempatan Tenaga Kerja Asing (IMTA) di Indonesia. Pelayanan dilakukan secara online. Pelayanan cepat persetujuan IMTA ini dimaksudkan dalam rangka mendukung peningkatan daya tarik Indonesia sebagai tempat investasi (penanaman modal) bagi negara lain. Dipihak lain, pengawasan terhadap TKA terus diintensifkan agar TKA betul-betul patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila kedua hal tersebut dapat dilaksanakan secara simultan, konsisten dan berkesinambungan, maka Indonesia akan mampu menciptakan kesempatan kerja menuju ‘full employement’.

Pada tingkatan ‘full employment’ ini, maka akan tercapailah ‘swasembada’ kesempatan kerja. Artinya tercapai ‘the rate of natural unemployment’ pada kisaran 4 – 5 persen. Pada posisi inilah titik balik penentuan kebijakan ketenagakerjaan. Ketika masih terdapat pengangguran maka TKA yang masuk hanya pada jabatan dengan profesi berkualifikasi tinggi, sebagaimana yang masih berlaku di Indonesia saat ini. Sebaliknya, ketika nantinya tercapai kesempatan kerja lebih banyak dari angkatan kerja, dan hanya terjadi pengangguran alami, maka TKA dibolehkan memasuki jabatan dengan profesi lebih rendah, yang secara faktual pada jabatan tersebut enggan dimasuki oleh tenaga kerja lokal.

Untuk itu, partisipasi aktif dari seluruh stakeholder ketenagakerjaan, baik pemerintah, pengusaha, maupun Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) sangat diperlukan dalam mewujudkan peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia. Dengan adanya dukungan dari segala pihak, maka upaya-upaya yang saat ini telah dibangun akan semakin cepat tercapai untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera.